Peristiwa Perang Lombok Tahun 1894
Sumber Foto: satujam.com |
Sebagai orang yang lahir dan besar di Lombok, ada semacam kekecewaan jika mengingat masa-masa mengikuti mata pelajaran sejarah sewaktu masih duduk di bangku SD, SMP dan SMU. Pasalnya sejarah Lombok sangat jarang disebut dan dibahas, menemukan satu paragraf atau satu halaman dalam buku pelajaran sekolah resmi, rasanya seperti mimpi di siang bolong.
Mengapa hal tersebut terjadi?. Dikutip dari data yang disajikan oleh Lombok Heritage Society (LHS), sebuah lembaga nir laba yang konsen terhadap sejarah Lombok, ada sejumlah alasan yang dapat dikemukakan, salah satunya adalah para penulis sejarah nasional sepertinya tidak mempunyai data yang memadai tentang sejarah Lombok.
Keberadaan data sejarah Lombok memang sangat ekslusif, tidak banyak tersedia di negeri ini, data sejarah pulau seribu masjid ini banyak tersimpan di negeri Belanda, dibutuhkan usaha yang keras, waktu ,tenaga dan biaya untuk menyusuri dan membongkar data-data tersebut.
Perang Lombok 1894, masih mengutip dari LHS, pada perang inilah Belanda pernah tercoreng mukanya di dunia internasional. Belum pernah dalam satu kali pertempuran, sekian banyak pasukan Belanda tewas. Belum pernah sebelumnya, seluruh anggota pasukan mendapat medali penghargaan dari Ratu Belanda, kecuali pasukan yang ikut bertempur dalam perang Lombok.
Sebab, bagi Belanda, ini adalah perang terdahsyat yang pernah mereka hadapi. Disinilah Belanda untuk pertama kalinya menyaksikan puputan dalam artian yang sebenarnya.
Perang ini berlangsung selama empat bulan, terhitung dari bulan Agustus dan berakhir pada bulan November. Melibatkan kerajaan Karang Asem Mataram yang lebih dikenal dengan kerajaan Lombok dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Penyebab terjadinya perang ialah berawal dari keinginan Belanda untuk menguasai Lombok yang saat itu menjadi daerah yang kaya dan makmur. Sejak kerajaan Lombok di perintah oleh raja, I Gusti Gde Karangasem yang bergelar Ratu Agung Agung Gde Ngurah Karangasem dan merupakan raja yang ke IV dari dinasti Mataram, kerajaan Lombok mencapai puncak kejayaanya.
Kemajuan kerajaan terjadi di segala bidang, baik bidang kesusteraan, ekonomi maupun politik. Di kerajaan inilah, kitab Negara Kertagama ditemukan, di bidang ekonomi, melalalui pelabuhan Ampenan yang saat itu tumbuh menjadi pelabuhan internasional.
Kerajaan Lombok mencapai kejayaan ekonomi, I Gde Parimartha dalam Lombok Abad XIX (2014:61) menyebut, pada bulan Oktober 1841, 25 kapal berbendera Inggris berlabuh di Ampenan. Bahkan, pada masa itu kerajaan Lombok adalah satu-satunya kerajaan di nusantara yang mempunyai dua kapal perang yang bernama Sri Cakra dan Sri Mataram.
Di sisi lain sebab perang Lombok, lantaran adanya kekhawatiran dari Belanda yang melihat kerajaan ini menjalin hubungan yang baik dengan Inggris.
Sebab terakhir yang dapat disebutkan adalah, adanya campur tangan Belanda dalam memanfaatkan konflik yang terjadi di pulau Lombok saat itu, yang manapada tahun 1891 pecah perlawanan rakyat Sasak terhadap Karang Asem Mataram, yang oleh beberapa tokoh Sasak, disuratilah Belanda untuk datang ke pulau Lombok dengan harapan Belanda membantu mereka dalam perang melawan Karang Asem Mataram.
Kedatangan Pasukan Belanda
Keseluruhan jalanya perang Lombok ini, didasarkan pada buku Lombok, Penaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan, yang ditulis oleh Alfons Van Der Kraan.
Pada 5 Juli 1894, pasukan Belanda dibawah pimpinan Jendral Vetter dan Residen Dannenbargh mendarat di pelabuhan Ampenan, kekuatan ekpedisi itu terdiri dari 7 kapal perang, 12 kapal angkut, 3 batalion infanteri dan satu skuadron kavaleri. Pasukan-pasukan ekpedisi itu berjumlah 110 perwira, 2300 prajurit dan 2000 narapidana, total kekuatan kira-kira 4000 orang.
Pada hari itu pula, Belanda mengirim seorang kurir untuk menyerahkan ultimatum kedua yang terdiri dari tujuh butir tuntutan, yang isinya antara lain adalah raja harus mengakui dan mematuhi semua perintah dari Yang Mulia Gubernur Jendral Hinda Belanda, dari tujuh butir tuntutan tersebut, terdapat satu tuntutan yang oleh raja sangat sulit untuk dipenuhi yaitu menyerahkan anak raja yang bernama Anak Agung Made Karangasem untuk diasingkan Belanda ke luar pulau Lombok.
Setalah terjadi beberapa perundingan yang berujung pada kebuntuan. Pasukan Belanda pada 11 Juli mulai bergerak dari Ampenan menuju pusat kota, Belanda membangun bivak di dua posisi, yaitu di timur puri Mataram dan di depan Puri Ukir Kawi Cakranegara.
Sembari berkemah dan mengelar pasukan, Belanda masih terus mengajukan tujuh tuntutan yang diajukan kepada raja, dan pada situasi yang genting itulah, raja akhirnya mengambil keputusan yang berat dan dilematis, raja memutuskan untuk menghukum mati sendiri putranya. Alasan hukum mati terhadap Anak Agung Made Karangasem adalah adanya informasi bahwa yang bersangkutan telah melakukan agamya gamana (Incest), sebuah perbuatan yang sangat tidak boleh dilakukan pada saat itu.
Setelah kematian Anak Agung Made Karangasem, suasana kota Mataram dan Cakranegara, kembali berjalan normal, tidak ada tanda tanda akan terjadi peperangan. Beberapa utusan Belanda bergerak kearah pedalaman Lombok, untuk melakukan konsolidasi dan membujuk pemimpin pemimpin Sasak agar bersedia melakukan perundingan damai dengan Karang Asem Mataram yang mana perundingan tersebut akan ditengahi oleh Belanda.
Namun sejarah mencatat lain, pada 25 Agustus tengah malam, tembakan pertama meletus dari balik tembok tembok rumah penduduk. Pasukan Belanda yang sedang tertidur, terkaget dengan serangan yang mendadak tersebut.
Suara tembakan, pekikan dan jeritan kematian terdengar sepanjang malam hingga menjelang subuh. Belanda akhirnya mundur dan mengambil posisi bertahan.
Pertempuran itu berlangsung dua hari, dan pada 27 Agustus, Belanda berhasil mundur ke Ampenan. Akibat serangan itu Belanda menderita korban tewas, hilang dan luka berat sebanyak 37 perwira, 524 prajurit dan 414 narapidana, salah satu pemimpin pasukan yang bernama Jendral Van Ham ikut tewas dalam pertempuran itu.
Baca juga : Menilik Prosesi Adat Pernikahan Suku Sasak.
Melestarikan Kearifan Lokal Suku Sasak
Sumber: netralnews.com |
Pembalasan Pasukan Belanda
Akibat kekalahan pada serangan itu, Belanda akhirnya meminta tambahan pasukan ke Batavia, dan pada 2 September, pasukan bantuan pertama tiba di Ampenan. Keseluruhan pasukan tambahan itu terdiri dari 82 perwira, 1899 prajurit dan 1108 narapidana, kini jumlah pasukan Belanda yang ada di Lombok sekitar 6700 orang dengan perlengkapan senjata yang terdiri dari 28 meriam dan 10 mortir.
Pada 6 September, pembalasan itu dimulai. Target pertama adalah merebut dan menghancurkan kota Mataram. Untuk menjalankan misi tersebut, pasukan Belanda terlebih dahulu menundukan desa Pagesangan. Selama hampir lima hari, terhitung sejak 13 September, Pegesangan di bombardir dengan tembakan artileri, tercatat 300 orang dari pihak kerajaan Lombok tewas dalam pertempuran Pegesangan tersebut, salah satunya adalah Anak Agung Putu, cucu raja I Gusti Gde Karangasem.
Kota Mataram sendiri mulai diserang pada 29 September. Perang berkecamuk dengan hebat, seluruh pasukan dan rakyat Mataram ambil bagian dalam peperangan, wanita, anak-anak dan pendeta ikut terlibat dalam pertempuran itu.
Belanda tidak menyangka akan mendapat perlawanan yang begitu hebat dan dahysat. Belanda terpaksa bertempur melawan setiap orang dan setiap rumah.
Beberapa punggawa dan keluarganya melakukan puputan, mayat bergelimpangan dimana mana, di sepanjang jalan dari Mataram menuju Cakranegara, hampir 500 lebih mayat yang ditemukan , total ada kurang lebih 1000 jiwa yang gugur dari pihak Mataram dan salah satu korbanya adalah putra mahkota yang bernama Anak Agung Ktut Karangasem.
Setelah Mataram jatuh, tanggal 11 Oktober, pasukan Belanda kini mulai membidik puri Ukir Kawi yang merupakan benteng terakhir dari kerajaan Lombok. Selama sebulan penuh,terhitung dari tanggal 19 Oktober sampai 19 November, hujan peluru memenuhi kota Cakranegara, tercatat 6575 peluru 12 cm dan 1950 peluru 20 cm menghujani kota Cakranegara.
Tanggal 18 November, serangan besar-besaran dilakukan ke dalam puri, perlawanan dilakukan dengan sengit dan heroik. Akibat perlawanan yang sengit tersebut pergerakan pasukan Belanda menjadi lambat dan tertahan.
Baru pada sore hari, Belanda berhasil menerobos tembok puri, di dalam puri pun, perlawanan masih berlangsung dengan dahsyat, seluruh anggota puri dan abdi dalem bertempur dengan gagah berani, duel satu lawan satu berlangsung di ruangan-ruangan puri.
Meskipun berhasil masuk puri, namun Belanda gagal menguasai puri pada hari itu. Dipertempuran tersebut Belanda menderita korban tewas sebanyak 166 orang,sedangkan dari pihak kerajaan Lombok diperkirakan mencapai 2000 orang. Raja sendiri dengan alasan keamanan, tepat pada malam 18 November, bersama serombongan kecil keluarganya menyingkir ke desa Sasari
Jatuhnya Kerajaan Lombok
Pada 20 November, pasukan Belanda bergerak menuju desa Sasari dan mulai mengepung desa tersebut, raja dan seluruh anggota keluarga sudah siap menyambut dengan melakukan puputan, namun raja akhirnya memutuskan untuk menyerahkan diri, ditemani oleh putranya yaitu Anak Agung Jelantik dan cucu laki-lakinya yang bernama Anak Agung Oka, raja menyerah pada Belanda pada pukul 12:00 tengah hari.
Tanggal 22 November, Belanda mengultimatum seluruh keluarga raja yang masih bertahan di desa Sasari untuk menyerahkan diri. Namun seluruh anggota keluarga raja menolak dan memilih mempertahankan harga diri dengan cara puputan.
Inilah puputan yang dalam arti sebenarnya. Puputan dengan tata cara adat. Proses ini dimulai dengan pembersihan diri dari seluruh anggota kelurga yang akan ikut puputan, mereka semua menggunakan pakaian serba putih, memakai wangi wangian dan mengenakan perhiasan terindah yang mereka miliki.
Pria, anak-anak dan wanita berjalan di depan dan di barisan terakhir terdapat pendeta yang membawa keris pusaka. Keris ini akan digunakan untuk menusuk peserta puputan yang masih hidup.
Dengan bersenjata tombak pendek dan teriakan melengking, peserta puputan menerjang pasukan Belanda. Oleh Belanda, mereka disambut dengan tembakan yang ganas. Seluruh anggota puputan roboh dan tewas dalam balutan pakain putih berlumur darah, salah satunya adalah putri raja yang bernama Ayu Prabha.
Pada 23 November, raja dan beberapa pengikutnya diasingkan ke Batavia, diberangkatkan menggunakan kapal HMSSS Prins Hendrik. Dan pada tanggal 20 Mei 1895 raja Lombok meninggal dan dimakamkan di pekuburan Karet Bivak.
Sudah selayaknya sejarah perang Lombok tahun 1894 ini diketahui oleh generasi sekarang, perlawanan kerajaan Lombok beserta rakyatnya telah mengajarkan kita bagaimana arti dari mempertahankan harga diri dengan ksatria. Menolak tunduk adalah jiwa dari perlawanan rakyat Lombok pada perang 1894. (np)
Sumber: akun facebook Gegen Redrebels
Post a Comment